Sejak 2003, pemerintah telah menghentikan ekspor pasir laut melalui SK Menperindag Nomor 117/MPP/Kep/2003 tentang penghentian sementara ekspor pasir laut. Namun, pemerintahan Joko Widodo kembali membuka keran ekspor pasir laut tersebut.
Berdasarkan hasil riset Universitas Lampung, aturan ekspor pasir laut ini berdampak negatif bagi lingkungan hidup. Di antaranya, meningkatkan abrasi dan erosi laut, menurunkan kualitas perairan laut dan pesisir, semakin keruhnya air laut, meningkatkan pencemaran pantai, serta meningkatkan intensitas banjir rob.
Kebijakan ekspor pasir laut tentu bertentangan dengan amanat UU Kelautan, yang terus menekankan pada pendekatan ekonomi di sektor kelautan. Selain memiliki efek destruktif pada ekosistem laut dan masyarakat sekitar, devisa hasil ekspor ini juga relatif kecil.
Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019, Susi Pudjiastuti menentang keputusan Presiden Jokowi ini. Tak hanya dari aspek lingkungkan, kebijakan membuka ekspor pasir laut dinilai merugikan rakyat di Tanah Air.
Di tengah banyaknya komentar negatif, pemerintah tetap pada pendiriannya. Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kebijakan terbaru ini tidak akan merusak lingkungan. Justru, memberi manfaat kegiatan ekonomi industri khususnya pendalaman alur laut.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengklaim pemerintah akan melakukan pengerukan terhadap sedimentasi pasir di sejumlah titik yang mengalami penumpukan. Di antaranya dekat jalur Malang hingga perbatasan antara Batam dan Singapura. Ia beralasan sedimen ini perlu dikeruk dan diekspor, karena jika tidak dapat berakibat pada terjadinya pendangkalan dan membahayakan jalur laut.